ALAS
KAKI, apapun nama, bentuk, atau modelnya, telah begitu lekat dengan
kaki semua orang. Namun, keakraban kaki dengan pembungkusnya itu tidak
dialami dengan mudah oleh banyak orang sebelum tahun 1882. Tepatnya,
ketika Jan Ernst Matzeliger, pekerja di sebuah pabrik sepatu di Amerika,
menemukan mesin pembuat sepatu. Dengan ditemukannya mesin-mesin pembuat
sepatu yang lain, dimulailah produksi masal sepatu, sehingga harganya
pun menjadi terjangkau. Orang tak perlu lagi membuat sendiri atau repot
memesan pada tukang sepatu keliling.
Namun,
untuk sampai pada tahap itu, sepatu mengalami perjalanan yang sangat
panjang. Ribuan tahun yang lalu, kulit binatang mentah dipilih untuk
pembungkus tubuh dan kaki manusia.
Bila
didaerah dingin pembungkus itu berbentuk sepatu, masyarakat di daerah
panas lebih menyukai sandal. Orang Mesir kuno di tahun 3700 SM misalnya,
sudah mengenakan sandal dari serat tanaman atau kulit binatang.
Bahan
dasarnya tergantung pada materi yang tersedia dan kondisi alamnya.
Sepatu kayu misalnya, sangat populer di Benua Eropa yang banyak
berhutan. Sedangkan klompen kayu (semacam "sepatu" bakiak) banyak
ditemukan di negara-negara bercuaca hangat seperti Timur Tengah, India
dan Jepang. Bila mokasin (sepatu yang dibuat dari selembar bahan
sehingga tidak ada jahitan antara sol dengan bagian atas sepatu) dari
kulit pohon jadi alas kaki masyarakat Skandinavia, maka sandal jerami
dan sepatu kain dapat dijumpai menghiasi kaki masyarakat Korea dan Cina.
Khusus masyarakat di wilayah bercuaca sangat dingin, sepatu bot banyak
dipakai. Orang Tibet, Bhutan, dan Nepal di sekitar Himalaya, misalnya,
sangat akrab dengan sepatu bot dari kulit yak.
Alas
kaki ternyata tidak selalu dianggap penting, apalagi oleh masyarakat
wilayah yang banyak disinari matahari. Pada lukisan dinding dari zaman
Mesir kuno, hanya para raja dan pendeta yang mengenakan alas kaki - itu
pun berupa sandal - yang terbuat dari jalinan alang-alang, atau sandal
kulit seperti yang terbuat dari jalinan alang-alang, atau sandal kulit
seperti yang dikenakan Tutankhamen, salah satu firaun Mesir.
Bagi
serdadu Yunani kuno, sandal malah punya fungsi yang amat khusus. Mereka
hanya mengenakan satu pada kaki kiri. Saat perkelahian satu lawan satu,
karena perisai dibawa dengan tangan kiri, kaki kiri itu selalu siap
maju, kalau perlu menendang selangkangan lawan. Nah, tendangan dengan
sandal tentu lebih afdol.
Pada
abad IV, sepatu yang dihias dengan indah banyak ditemukan di Bizantium.
Model sepatu dengan ujung panjang muncul di akhir abad IV sampai abad
XV. Maklum, mode topi dan hiasan kepala saat itu juga runcing-runcing.
Ada sepatu seorang pangeran yang panjang ujungnya 60 cm. Untuk
mempertahankan bentuknya tentu saja mesti disumpal serat atau jerami.
Sepatu demikian disebut poulainne atau crakow, mungkin indikasi tempat
asalnya: Polandia. Supaya praktis, ujung sepatu diikat dengan rantai ke
pangkal sepatu di tulang kering. Oleh Edward IV, raja Inggris 1442-1483,
ujung sepatu lalu di batasi maksimal 5 cm saja.
Pada
abad XVII lahir model sepatu berhak tinggi dengan pita. Tahun 1660
Louis XIV, raja Prancis yang terkenal suka kemewahan dan keindahan,
mendapat hadiah sepasang sepatu berhak tinggi dengan pita sepanjang 40
cm. Tetapi haknya dibuat melengkung untuk disesuaikan dengan tubuh Louis
yang pendek. Meski tak praktis dan membuat pemakainya bisa tersandung,
model itu sangat disukai raja dan kerabatnya.
Pada
abad XVIII sepatu mencapai puncak kecentilannya. Ada yang dihiasi kain
brokat, atau kulit anak kambing yang lembut, entah dibordir atau dihiasi
manik-manik. Ujungnya runcing, haknya tinggi melengkung. Bahkan ada
yang dihiasi gesper bertatahkan berlian.
Kini
perkembangan pengetahuan yang begitu pesat menyentuh pula bidang
pembuatan sepatu. Proses rancang-merancang dilakukan dengan bantuan
komputer, sedangkan sinar laser digunakan untuk memotong bahan dengan
cepat dan tepat.Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar